Friday, November 8, 2013



Kembali kepada Sang Khaliq
Mengenang Almarhum H. Achmad Muchidin

Jumat tanggal 23 Agustus 2013 atau 16 Syawal 1434 H, sekitar pukul 03:00 WIB, ayahanda kami dalam usia 71 tahun, menghembuskan nafas terakhirnya di RS Pelabuhan Cirebon, setelah seminggu menjalani perawatan termasuk 5 hari di ruang ICU. Ayahanda lahir di Purwokerto 17 Agustus 1942, merupakan anak ke 3 dari 8 bersaudara keluarga H. Achmad Juhdi. Beliau menderita hipoglikemia, atau penurunan kadar gula darah sehingga mengalami pingsan dan berakibat pada terganggunya jaringan syaraf di otak.

Ayahanda kami, H. Achmad Muchidin bin H. Achmad Juhdi bin Hasan Ilyas bin Hasan Rais bin Suramenggala, lahir ketika masa-masa penjajahan Jepang, dimana kondisi waktu itu memang serba sulit, karena beberapa kali terpaksa mengungsi. Ayah dari Achmad Muchidin, yaitu H. Achmad Juhdi, merupakan salah satu ulama atau tokoh Islam di Purwokerto, khususnya di Kelurahan Bantarsoka, tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Purwokerto. Acara pengajian rutin senantiasa dilakukan di mushalanya yang sekarang sudah menjadi masjid.
H. Achmad Muchidin sewaktu kecil, sering dititipkan ke keluarga lain, dengan alasan masalah kesulitan ekonomi. Sewaktu sekolah dasar, H. Achmad Muchidin kecil, ikut ke keluarga Mbah Sudirman di Kebumen, dan setelah itu ikut keluarga Mbah Topo di Jakarta. Setelah kembali ke Purwokerto, H. Achmad Muchidin, menyelesaikan pendidikan SMP dan PGA (Pendidikan Guru Agama selevel SMA). Setelah itu kembali ke Jakarta tinggal di rumah paman, Keluarga H. Khalil, tepatnya di seberang Stasiun Pos Duri, Jembatan Besi, Jakarta Barat. Beberapa pekerjaan pernah dilakukan mulai dari jualan permen dan rokok di Stasiun Kota (Beos), petugas langsir untuk KA, dan beberapa pekerjaan serabutan lainnya. Suatu ketika, almarhum diterima sebagai petugas cleaning service di sebuah instansi milik pemerintah, tidak jauh dari Stasiun Kota. Dengan bekal keahlian mengetiknya, akhirnya almarhum bisa menjadi pegawai tetap instansi tersebut, dengan posisi sebagai staf administrasi. Pernah suatu ketika, almarhum mengatakan, bahwa seumur hidupnya mengalami minum teh manis itu setelah bekerja di Jakarta, karena selama masa kecilnya hanya minum air putih, karena sulitnya hidup pada masa itu.

Menikah dengan Hj. Sugiarti (kelahiran Sumpiuh, Banyumas), pada tahun 1968, almarhum dikaruniai 5 orang anak. Awal-awal menikah, sampai kelahiran anak pertama, masih harus bolak-balik Jakarta-Purwokerto, karena memang belum mapan untuk tinggal di Jakarta. Hingga akhirnya keluarga dibawa ke Jakarta dan mengontrak sebuah rumah kecil tidak jauh dari Stasiun Pos Duri. Disitulah anak kedua dan ketiga lahir, melengkapi kebahagiaan almarhum yang pekerjaannya sudah mulai mapan. Akhirnya, almarhum memutuskan pindah ke Cirebon, tahun 1976 ketika ada tawaran mutasi ke kantor cabang yang baru dibuka di kota udang itu.

Masa awal di Cirebon
Awal-awal di Cirebon, almarhum mengontrak rumah di dalam gang di daerah Klayan. Seiring waktu akhirnya bisa membeli tanah di depan rumah kontrakan dan dibangunlah sebuah rumah sederhana. Waktu itu memang listrik masih awal-awal masuk ke daerah tersebut. Kadang untuk nonton acara TVRI, harus pergi ke kompleks Pertamina Klayan, yang jaraknya sekitar 1 km. Sekitar tahun 1988, keluarga almarhum pindah ke sebuah perumahan di Pilang, dengan alasan kenyamanan, maklum karena rumah lama yang di dalam gang, sudah dikelilingi oleh tembok-tembok besar, sehingga kurang nyaman dalam ventilasi dan lainnya.
Di rumah Klayan inilah, almarhum setelah bada maghrib, mengajarkan kami, anak-anaknya mengaji, di mushala kecil di atas loteng. Karena rutinitas kantornya yang semakin sibuk dan sering pulang larut malam (almarhum memang termasuk pekerja keras), akhirnya almarhum mendatangkan guru ngaji (ust Rapisa) untuk mengajarkan kami mengaji dan ilmu agama lainnya di malam harinya. Sementara sore hari, kami mengikuti madrasah sore di masjid dekat rumah.     

Hijrah ke Pilang
Di rumah baru di Pilang, almarhum mulai aktif di kegiatan masjid perumahan, yang memang suasana perumahan masih sepi belum seramai saat ini. Aktifitas di Masjid Al Muhajirin ini mulai meningkat, ketika almarhum memasuki usia pensiun dan setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 2000. Selama kurang lebih 10 tahun, sampai dengan akhir hidupnya, almarhum mendapat amanah sebagai bendahara DKM. Amanat ini dikelola dengan baik, melalui pembukuan yang profesional karena memang bidang inilah yang digeluti almarhum semasa kerjanya. Satu hal yang patut dicontoh kita sebagai seorang muslim, almarhum selalu konsisten datang ke masjid untuk shalat wajib, sebelum adzan berkumandang, bahkan beliau sendiri yang adzan dan kadang menjadi imam. Waktu pagi sekitar jam 4 pagi, sebelum subuh, beliau sudah berada di masjid sambil membangunkan para warga melalui speaker masjid. Apalagi di waktu shaum ramadhan, aktifitas tersebut selalu dilakukan almarhum.

Pengalaman lain
Semasa kecil, saya dan adik selalu diajak shalat Jumat di masjid At Taqwa, masjid terbesar di kota Cirebon. Yang seperti biasa, setelah itu kami minum es kelapa muda, yang terletak tidak jauh dari masjid, dekat dengan pintu rel KA. Begitu pula jika hari libur, Ayahanda mengajak saya dan adik, pergi naik motor vespa ke kebun dan daerah pertanian di sekitar Arjawinangun, dan pulangnya box motor vespa kami penuh dengan jambu merah. Kadang di hari libur kami ikut ke kantor, karena Ayahanda lembur. Sementara beliau bekerja, kami main perang-perangan pake penggaris kayu kantor, atau main drum, kadang memainkan mesin ketik, atau tiduran di sofa.
Sewaktu saya terkena paru-paru basah, sepulangnya dari survei di Teluk Bintuni, Papua, sambil menunggu tindakan dokter untuk menyedot cairan di paru-paru kiri, Ayahanda mengajak saya ke tabib gurah di suatu pondok pesantren di daerah Arjawinangun, dan beberapa hari kemudian dokter yang akan menyedot cairan di paru-paru saya terkaget-kaget, dan mendiagnosis bahwa cairan di paru-paru saya sudah banyak berkurang, dan untuk itu hanya perlu minum obat antibiotik saja.
Pengalaman berharga lainnya, sekitar 2 tahun yang lalu, Ayahanda datang sendirian menjenguk  ke Cibinong ketika saya sakit keras, padahal belum lama Ayahanda dirawat di RS Pertamina karena kadar gulanya naik.

Dini hari malam itu, Jum’at, 23 Agustus 2013 atau 16 Syawal 1434 H, pukul 03:00 WIB, Ayahanda kembali menghadap Sang Khaliq, dan beberapa saat sebelumnya dengan isyarat minta diperdengarkan rekaman murotal Quran dan tausiyah KH Zainuddin MZ, melalui HP yang dibimbing adik saya. Setelah itu nafas Ayahanda mulai melemah, dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Pukul 11:15 WIB, jenazah Ayahanda, setelah sebelumnya dimandikan dan dikafani, dibawa ke Masjid Al Muhajirin, untuk disemayamkan sekaligus akan dishalatkan, setelah ibadah shalat Jum’at. Bada shalat Jum’at, pukul 12:25 WIB, dengan dihadiri oleh beberapa tokoh ulama dan puluhan jamaah yang memenuhi masjid, Ketua DKM, H. Bambang, membuka prosesi ini, kemudian sambutan pihak keluarga yang dibawakan oleh saya sendiri, selaku anak laki-laki tertua. Akhirnya Almarhum dishalatkan dengan diimami oleh adik saya. Acara diakhiri pembacaann doa oleh H. Ishomuddin Al Badawi, dengan suasana yang menjadi sangat haru, dan airmatapun tak terasa menetes, tak mampu lagi untuk ditahan.
Jenazah Ayahanda, dimakamkan di pemakaman Tedengjaya, sekitar 1 km, dari perumahan kami. Saya dan adik, menjadi orang terakhir yang mengantarkan almarhum ke liang kuburnya. Tak terasa berat, bahkan hampir tidak merasakan beban ketika menurunkan jasad almarhum. Innaalillaahi wainnaa ilaihi rooji’un, sesungguhnya kami adalah milik Alloh SWT, dan kepada-Nyalah kami kembali.

Allohummaghfirlahu warhamhu wa’aafihii wa’fu’anhu wa akrim nujulahu wawasysyi’ madkholahu waghsilhu bimaa in watsaljin wabarodin wanaqqihii minal khothooyaa kamaa yunaqqots tsawbul abyadhu minad danasi wa abdilhu daaroon khoiroon min daarihii, wa ahlan khoiron min ahlihii waqihii fitnatal qobri wa ‘adzaabannaar. 
“Ya Alloh ampunilah ia, kasihanilah ia, sejahterakanlah ia, dan maafkanlah kesalahannya, hormatilah kedatangannya, dan luaskan tempat diamnya, bersihkanlah ia dengan air, es dan embun, bersihkanlah ia dari dosa, sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran, gantilah rumahnya dengan rumah yang lebih baik daripada rumahnya dahulu, dan gantilah ahli keluarganya dengan yang lebih baik daripada ahli keluarganya dahulu, dan peliharalah ia dari huru-hara kubur dan siksaan api neraka.” (HR. Muslim)

Cibinong, 8 November 2013

No comments: