Perjalanan ke Phnom
Penh, Kamboja
Kali ini, saya dan dua rekan unit kerja lainnya, mendapat
tugas untuk menghadiri rapat dan seminar ASEAN FLAG di Phnom Penh, Kamboja. Setelah
melalui proses pengurusan administrasi di kantor yang cukup ‘mendebarkan’,
akhirnya 1 jam setelah menerima exit
permit paspor dinas, kami bertiga malam itu meluncur ke bandara Soekarno
Hatta.
Pesawat yang kami tumpangi adalah Malaysia Airlines, yang
harus transit di Kuala Lumpur sebelum menuju Phnom Penh. Singkat kata tibalah
kami di bandara Phnom Penh sekitar pukul 11:00 waktu setempat, yang sama dengan
waktu di Jakarta. Dari bandara kami dijemput oleh pihak panitia, menggunakan
mobil mewah Mercedes E Series. (maklum gini-gini kita delegasi resmi Indonesia
hehehe...). Oya, di Kamboja, posisi stir mobil ada di sebelah kiri, mirip di
Filipina, pantesan saja saya sempet salah membuka pintu supir (ndeso banget
hihihi...).
Suasana jalan dan kota, yang mirip dengan Jakarta, malah
mungkin lebih pas dengan suasana kota di Jawa Tengah, seperti Semarang. Masih
banyak pengemis, rumah-rumah kumuh di pinggiran kota. Sepanjang jalan terlihat
banyak sekali mobil mewah, yang jarang di temui di Jakarta, namun ini
berbanding terbalik dengan kondisi sepeda motornya yang jadul-jadul. Waktu itu,
terlihat juga banyak polisi yang berjaga-jaga untuk menangani demontrasi yang
cukup besar hari ini, yang menuntut perhitungan suara ulang atau pemilu ulang,
yang dilakukan oleh pihak oposisi di Kamboja. Melalui jalan yang sedikit macet,
akhirnya kami sampai di hotel, dengan waktu tempuh sekitar 40 menit dari
bandara.
Setelah check in di hotel Cambodiana, di tepi Sungai Mekong,
(jadi teringat pelajaran sejarah waktu SMP, sungai ini menyimpan banyak sejarah),
kami pergi makan siang menggunakan transportasi Tuk Tuk (transportasi semacam
delman ditarik pakai sepeda motor), mencari tempat makan muslim/halal restoran,
untuk kepastian kehalalan makanannya. Setelah muter-muter mencari tempat makan,
akhirnya kami makan di restoran muslim dengan menu mirip di kantin kantor kami,
dengan sekali makan sekitar 4-5 USD. Oya mata uang di sini adalah riel, namun
sering kali menggunakan mata uang US Dollar. Satu riel sekitar 2,7 rupiah,
untuk kurs pada saat ini. Ongkos naik tuk-tuk, dihitung perorang yaitu USD 2
per orang. Oya harga premiun disini 5300 riel atau sekitar Rp 14.000,-, dua
kali lipat lebih dengan harga di Jakarta. Tapi kayaknya premiun disini cukup
bagus, mengingat ketika kondisi macet di jalan, tidak terasa bau bensin atau
sesak nafas akibat polusi udaranya.
Selesai makan siang, kami menuju tempat pembantaian rezim
Polpot, di Choeung Ek, Genocidal Center, menggunakan tuk tuk, sekitar 15 km dari pusat
kota Phnom Penh. Ongkos per orang 5 USD. Untuk masuk ke tempat tersebut,
dikenakan biaya 6 USD. Hebatnya tempat wisata sejarah ini, bisa dikemas dengan unik,
sehingga memiliki nilai jual yang cukup tinggi, terlihat dari banyaknya
wisatawan asing yang mengunjungi tempat tersebut. Tiap wisatawan yang masuk
diberi headset + recorder, dalam
berbagai bahasa tergantung pilihan kita. Lalu wisatawan jalan ke suatu titik
dengan nomor tertentu, lalu kita tekan nomor sesuai lokasinya, maka dari recorder tersebut akan muncul penjelasan
cerita tentang latar belakang titik lokasi yang kita datangi. Begitu seterusnya
sampai puluhan titik lokasi yang tersedia di tempat ini. Ternyata korban
pembantaian Pol Pot, dapat dikemas sehingga memiliki nilai wisata sejarah,
terlihat para wisatawan asing yang mendengarkan dengan serius dan banyak
diantaranya yang memberikan setangkai bunga, tanda simpati pada korban, yang
tinggal tulang tengkoraknya saja yang dipajang di dalam sebuah gedung. Kalau
diterapkan di negeri ini bisa gak ya? Padahal korban pembantaian di negeri kita
sangat jauh lebih banyak.
Keesokan harinya, acara utama yaitu 51st The ASEAN Federation Land Surveying and Geomatics
Council Meeting, dilaksanakan di Tonle Mekong Room, Cambodiana Hotel,
dihadiri sekitar 40 delegasi dari berbagai negeri di ASEAN. Dari Indonesia
dihadiri oleh 4 orang, 3 dari BIG dan satunya lagi adalah Ibu Diah Kirana (purnabakti
BIG, mantan President ASEAN FLAG). Begitu juga hari kedua, di tempat yang sama,
dilaksanakan seminar tentang Land Reform
di Kamboja, dari mulai masa pendudukan Perancis, masa rezim Khmer, masa Pol Pot
dan saat ini.
Di sela-sela kesempatan seminar, kami sempat mengunjungi dua
buah masjid di Phnom Penh. Masjid pertama, adalah masjid Darussalam, di tepi
Sungai Mekong. Masjid ini terletak di lingkungan padat penduduk, yang
kebanyakan beragama Islam. Muslim sendiri di Kamboja adalah minoritas dengan
komposisi sekitar 2-5% dari jumlah penduduk Kamboja. Di masjid ini, kami
bertemu dengan Ust Imron, yang baru saja selesai mengajar. Beliau fasih dalam berbahasa
Melayu. Ustadz Imron adalah keturunan orang-orang Champa, salah satu provinsi
di Kamboja. Konon kabarnya wali Maulana Malik Ibrahim yang sangat terkenal di
nusantara, dalam perjalanan dakwahnya pernah singgah di negeri Champa, dan mempunyai
seorang istri dari Champa.
Masjid berikutnya, kami mengunjungi masjid yang cukup besar,
yang dalam tahap renovasi, yaitu masjid Al Serkal, yang terletak di Village 6,
Sres Chok Commune, Donpenh District, masih di wilayah perkotaan Phnom Penh.
Masjid ini dibangun bekerja sama dengan Pemerintah Kuwait, dengan donatur dari Uni
Emirat Arab, yang bernama Sheikh Eisa bin Nasser bin Abdullatif Al Serkal.
Konon kabarnya pula, dulu masjid ini terbengkalai dan sempat dijadikan
diskotik, namun akhirnya dibangun kembali oleh donatur dari UEA tadi.
Untuk berbelanja oleh-oleh yang murah meriah, setidaknya ada
dua pilihan lokasi, yaitu Rusian Market dan Central Market. Dengan menggunakan
tuk-tuk, kami bertiga meluncur ke Rusian Market, karena penasaran dengan
namanya dan dalam benak kami, bakal banyak barang-barang dari Rusia yang dijual
disana. Nyatanya bukan demikian ternyata, ketika kita memasuki pasar tersebut
terlihat kumuh seperti pasar Johar, Semarang, hehehe...atau pasar Kanoman di
Cirebon. Yang ada tempat jualan baju-baju, dan souvenir khas Kamboja, seperti
hiasan Angkor Wat, T-Shirt, gantungan kunci, kain-kain, dan pernak-pernik
lainnya. Memang disini harga-harganya termasuk murah, tergantung dari kelihaian
penawaran kita.
Akhirnya di hari keempat, dari Phnom Penh International Airport,
kami kembali ke tanah air, menggunakan Malaysia Airlines, dengan transit di
Kuala Lumpur. Memang tidak ada penerbangan langsung, antara Jakarta-Phnom Penh.
Mudah-mudahan perjalanan ini bisa membawa manfaat khususnya bagi diri pribadi
maupun orang lain, maklum perjalanan dinas ini dibiayai oleh rakyat negeri ini.
Phnom Penh, 26 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment