Monday, October 28, 2013

Perjalanan ke Phnom Penh, Kamboja



Perjalanan ke Phnom Penh, Kamboja

Kali ini, saya dan dua rekan unit kerja lainnya, mendapat tugas untuk menghadiri rapat dan seminar ASEAN FLAG di Phnom Penh, Kamboja. Setelah melalui proses pengurusan administrasi di kantor yang cukup ‘mendebarkan’, akhirnya 1 jam setelah menerima exit permit paspor dinas, kami bertiga malam itu meluncur ke bandara Soekarno Hatta.
Pesawat yang kami tumpangi adalah Malaysia Airlines, yang harus transit di Kuala Lumpur sebelum menuju Phnom Penh. Singkat kata tibalah kami di bandara Phnom Penh sekitar pukul 11:00 waktu setempat, yang sama dengan waktu di Jakarta. Dari bandara kami dijemput oleh pihak panitia, menggunakan mobil mewah Mercedes E Series. (maklum gini-gini kita delegasi resmi Indonesia hehehe...). Oya, di Kamboja, posisi stir mobil ada di sebelah kiri, mirip di Filipina, pantesan saja saya sempet salah membuka pintu supir (ndeso banget hihihi...).
Suasana jalan dan kota, yang mirip dengan Jakarta, malah mungkin lebih pas dengan suasana kota di Jawa Tengah, seperti Semarang. Masih banyak pengemis, rumah-rumah kumuh di pinggiran kota. Sepanjang jalan terlihat banyak sekali mobil mewah, yang jarang di temui di Jakarta, namun ini berbanding terbalik dengan kondisi sepeda motornya yang jadul-jadul. Waktu itu, terlihat juga banyak polisi yang berjaga-jaga untuk menangani demontrasi yang cukup besar hari ini, yang menuntut perhitungan suara ulang atau pemilu ulang, yang dilakukan oleh pihak oposisi di Kamboja. Melalui jalan yang sedikit macet, akhirnya kami sampai di hotel, dengan waktu tempuh sekitar 40 menit dari bandara.
Setelah check in di hotel Cambodiana, di tepi Sungai Mekong, (jadi teringat pelajaran sejarah waktu SMP, sungai ini menyimpan banyak sejarah), kami pergi makan siang menggunakan transportasi Tuk Tuk (transportasi semacam delman ditarik pakai sepeda motor), mencari tempat makan muslim/halal restoran, untuk kepastian kehalalan makanannya. Setelah muter-muter mencari tempat makan, akhirnya kami makan di restoran muslim dengan menu mirip di kantin kantor kami, dengan sekali makan sekitar 4-5 USD. Oya mata uang di sini adalah riel, namun sering kali menggunakan mata uang US Dollar. Satu riel sekitar 2,7 rupiah, untuk kurs pada saat ini. Ongkos naik tuk-tuk, dihitung perorang yaitu USD 2 per orang. Oya harga premiun disini 5300 riel atau sekitar Rp 14.000,-, dua kali lipat lebih dengan harga di Jakarta. Tapi kayaknya premiun disini cukup bagus, mengingat ketika kondisi macet di jalan, tidak terasa bau bensin atau sesak nafas akibat polusi udaranya.
Selesai makan siang, kami menuju tempat pembantaian rezim Polpot, di Choeung Ek, Genocidal Center,  menggunakan tuk tuk, sekitar 15 km dari pusat kota Phnom Penh. Ongkos per orang 5 USD. Untuk masuk ke tempat tersebut, dikenakan biaya 6 USD. Hebatnya tempat wisata sejarah ini, bisa dikemas dengan unik, sehingga memiliki nilai jual yang cukup tinggi, terlihat dari banyaknya wisatawan asing yang mengunjungi tempat tersebut. Tiap wisatawan yang masuk diberi headset + recorder, dalam berbagai bahasa tergantung pilihan kita. Lalu wisatawan jalan ke suatu titik dengan nomor tertentu, lalu kita tekan nomor sesuai lokasinya, maka dari recorder tersebut akan muncul penjelasan cerita tentang latar belakang titik lokasi yang kita datangi. Begitu seterusnya sampai puluhan titik lokasi yang tersedia di tempat ini. Ternyata korban pembantaian Pol Pot, dapat dikemas sehingga memiliki nilai wisata sejarah, terlihat para wisatawan asing yang mendengarkan dengan serius dan banyak diantaranya yang memberikan setangkai bunga, tanda simpati pada korban, yang tinggal tulang tengkoraknya saja yang dipajang di dalam sebuah gedung. Kalau diterapkan di negeri ini bisa gak ya? Padahal korban pembantaian di negeri kita sangat jauh lebih banyak.
Keesokan harinya, acara utama yaitu 51st The ASEAN Federation Land Surveying and Geomatics Council Meeting, dilaksanakan di Tonle Mekong Room, Cambodiana Hotel, dihadiri sekitar 40 delegasi dari berbagai negeri di ASEAN. Dari Indonesia dihadiri oleh 4 orang, 3 dari BIG dan satunya lagi adalah Ibu Diah Kirana (purnabakti BIG, mantan President ASEAN FLAG). Begitu juga hari kedua, di tempat yang sama, dilaksanakan seminar tentang Land Reform di Kamboja, dari mulai masa pendudukan Perancis, masa rezim Khmer, masa Pol Pot dan saat ini. 


Di sela-sela kesempatan seminar, kami sempat mengunjungi dua buah masjid di Phnom Penh. Masjid pertama, adalah masjid Darussalam, di tepi Sungai Mekong. Masjid ini terletak di lingkungan padat penduduk, yang kebanyakan beragama Islam. Muslim sendiri di Kamboja adalah minoritas dengan komposisi sekitar 2-5% dari jumlah penduduk Kamboja. Di masjid ini, kami bertemu dengan Ust Imron, yang baru saja selesai mengajar. Beliau fasih dalam berbahasa Melayu. Ustadz Imron adalah keturunan orang-orang Champa, salah satu provinsi di Kamboja. Konon kabarnya wali Maulana Malik Ibrahim yang sangat terkenal di nusantara, dalam perjalanan dakwahnya pernah singgah di negeri Champa, dan mempunyai seorang istri dari Champa.

Masjid berikutnya, kami mengunjungi masjid yang cukup besar, yang dalam tahap renovasi, yaitu masjid Al Serkal, yang terletak di Village 6, Sres Chok Commune, Donpenh District, masih di wilayah perkotaan Phnom Penh. Masjid ini dibangun bekerja sama dengan Pemerintah Kuwait, dengan donatur dari Uni Emirat Arab, yang bernama Sheikh Eisa bin Nasser bin Abdullatif Al Serkal. Konon kabarnya pula, dulu masjid ini terbengkalai dan sempat dijadikan diskotik, namun akhirnya dibangun kembali oleh donatur dari UEA tadi.
Untuk berbelanja oleh-oleh yang murah meriah, setidaknya ada dua pilihan lokasi, yaitu Rusian Market dan Central Market. Dengan menggunakan tuk-tuk, kami bertiga meluncur ke Rusian Market, karena penasaran dengan namanya dan dalam benak kami, bakal banyak barang-barang dari Rusia yang dijual disana. Nyatanya bukan demikian ternyata, ketika kita memasuki pasar tersebut terlihat kumuh seperti pasar Johar, Semarang, hehehe...atau pasar Kanoman di Cirebon. Yang ada tempat jualan baju-baju, dan souvenir khas Kamboja, seperti hiasan Angkor Wat, T-Shirt, gantungan kunci, kain-kain, dan pernak-pernik lainnya. Memang disini harga-harganya termasuk murah, tergantung dari kelihaian penawaran kita.
Akhirnya di hari keempat, dari Phnom Penh International Airport, kami kembali ke tanah air, menggunakan Malaysia Airlines, dengan transit di Kuala Lumpur. Memang tidak ada penerbangan langsung, antara Jakarta-Phnom Penh. Mudah-mudahan perjalanan ini bisa membawa manfaat khususnya bagi diri pribadi maupun orang lain, maklum perjalanan dinas ini dibiayai oleh rakyat negeri ini.

Phnom Penh, 26 Oktober 2013

No comments: